Aku dan Pilihan Hidupku
Malam telah larut, tinggallah aku
seorang diri meratapi indahnya malam dihiasi langit yang cerah oleh pancaran cahaya
bulan dan bintang yang menyinari bumi. Tanpa ku sadari, pipi ini basah karena
derasnya tetesan air mata. Mata yang senantiasa menangis menyesali dosa lalu.
Terdiam sejenak dalam lamunanku, menutup mata rapat – rapat membayangkan
tentang semua yang menimpa pada diriku. Betapa hinanya diriku, betapa dustanya
diri ini. Aku telah lalai menjalankan Syari’at Islam, aku sangat bodoh mengenai
ilmu Agamaku sendiri. Aku begitu jauh dari pemahaman Islam yang sesungguhnya.
Aku merasa tak pantas terlahir di dunia ini. Begitu banyak dosa yang telah aku
lakukan selama aku hidup di dunia. Dunia yang sudah modern ini, membuatku jauh dari
pemahaman agamaku sendiri. Astaghfirullahal’adzim... Hanya Istighfar dan
menyebut AsmaNya yang bisa aku ucapkan.
Teringat akan masa kecilku dulu,
masih polos dan tidak tahu apa – apa. Ingin rasanya aku kembali ke masa itu untuk
mengulangnya dari awal. Untuk memperbaiki kesalahan – kesalahan yang telah aku
perbuat. Tapi apalah daya, hidup teruslah berputar. Sangat mustahil rasanya
untuk kembali ke masa silam.
Aku telah menyia – nyiakan
kesempatan emas waktu dulu. Disuruh meneruskan pendidikan ke sebuah pesantren
malah aku tidak mau. Pikirku dahulu karena aku masih baru lulus SD. Setelah
lulus SMP, aku tetap tidak mau meneruskan ke sebuah pesantren. Entah setan mana
yang telah merasuki pikiranku saat itu, betapa bencinya aku dengan dunia
pesantren waktu dulu. Kini sangat terasa penyesalan yang tiada hentinya
menghantui aku.
“Ya
Allah, masih adakah kesempatan untukku untuk memperbaiki kesalahan yang telah
lalu?”, pintaku dalam hati.
Tibalah saatnya aku akan lulus SMA, dan
baru aku tersadar dan terfikir untuk meneruskannya ke sebuah pesantren. Mungkin
ini hidayah dariNya, dan aku tidak boleh menyia – nyiakan kesempatan ini. Sudah
terlalu jauh aku tidak memahami ilmu mengenai Agama. Hidupku yang sekolah di
luar pesantren, tidak begitu banyak mengetahui tentang ilmu agama yang
sesungguhnya. Ilmu umum yang banyak aku dapatkan, sedangkan ilmu agamanya
sangat minim. Masalah aurat saja baru ku ketahui hukumnya setelah aku beranjak
kelas 3 SMA. Bahwa bagi setiap muslimah diwajibkan menutup auratnya dan itu
perintah langsung dari Allah SWT. Sebelum mengetahui hal tersebut aku memang
sudah mengenakan jilbab, tapi tak sesuai syari’at Islam. Masih lepas pasang,
masih mengenakan pakaian yang ketat, dan itupun aku tidak tahu hukumnya. Aku
hanya mengenakannya saja mengikuti era sekarang yang sudah banyak mengenakan
jilbab meski tak sesuai syari’at Islam.
Setelah aku mengetahui hukumnya,
meskipun aku masih belum meneruskan ke pesantren, aku mencoba pelan – pelan tuk
mengenakan jilbab itu supaya tak lepas pasang lagi. Karena aku sangat takut
tentang hukuman yang akan ditanggung di akhirat kelak bagi perempuan yang tidak
menutup auratnya. Awalnya memang banyak ujian terutama ocehan dari lingkungan
sekitar. Ada yang mengatakan:
“Tidak
panaskah mengenakan Jilbab lama – lama?”
“Emang
mau kemana kok mengenakan jilbabnya? Kan Cuma disekitar rumah?”, dan masih
banyak ocehan – ocehan yang dilontarkan.
Tak
perlu di ambil hati, tak perlu diladenin, karena aku yakin, dengan seiringnya
waktu ocehan itu akan hilang dengan sendirinya. Mungkin mereka seperti itu
karena aku masih belajar, mereka masih belum terbiasa dengan penampilanku. Dan
akhirnya pun, keyakinanku tercapai. Sudah tak ada ocehan – ocehan dan kalimat
yang tidak enak didengar lagi, semuanya sudah terbiasa dengan penampilanku.
Kini tinggal menjaga apa yang telah aku putuskan untuk berjilbab, supaya tidak
lepas pasang lagi. Meskipun akhlaq ku tak sebaik jilbabku, tapi aku akan berusaha
untuk memperbaiki semuanya.
“Permudahkanlah
jalanku ini menuju jalan yang Kau Ridhoi ya Allah. Aku hanya ingin menjadi
wanita Sholihah di dunia dan akhiratMu”, lagi – lagi do’aku dalam hati.
Pendaftaran untuk Perguruan Tinggi
sudah dimulai, dari yang Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sampai Perguruan Tinggi
Swasta (PTS).
“Aku
ingin meneruskan kuliahku di pesantren saja, aku ingin mempelajari ilmu agama
juga selain ilmu umum”, kataku kepada orang tua, saudara dan teman – temanku.
Tapi
jawaban orang tua tak sesuai dengan yang aku kira. Beliau malah menyuruhku
untuk mencoba terlebih dahulu untuk mendaftar di sebuah PTN. Aku bingung,
bukannya ini yang mereka inginkan dari aku mulai dulu. Karena aku anak
perempuan satu – satunya. Tapi kenapa malah sekarang tidak menyetujui
keinginanku. Saudaraku(Zairanil) juga ikut membantah perkataanku: “Apa kamu
tidak salah dengan keputusanmu dek? Hidup kamu yang begitu mana bisa tinggal di
pesantren.. aku yakin kamu ga bakalan kerasan. Sudahlah jangan aneh – aneh”.
“Nggak,
aku ga salah. Maka dari itu aku ingin memperbaiki semuanya mas”, kataku.
“Gini
deh, kalau kamu kuliah di luaran kamu mau minta apa pasti diturutin. Kan bapak
sendiri yang bilang kalau kamu kuliah diluar bakalan dibelikan sepeda motor
baru dan HP baru. Masak kamu ga mau sih? Kalau aku jadi kamu mending kuliah
diluaran saja dek...” jawab masku sambil ketawa.
“Ya
itu kamu mas, bukan aku. Pokoknya aku tetap pengen kuliah di pondok”, jawabku
tegas.
“Oke
kalau itu kemauanmu, asalkan kamu bisa kerasan nantinya. Jangan sampai suatu
saat kamu nangis bilang ga kerasan dan pengen pindah”.
“Ya,
ga bakalan kok. Tenang saja. Kan adekmu ini bisa menyesuaikan, hehe... kalau
masalah ga kerasan awal – awalnya ya pasti ga bakal kerasan lah mas. Tapi aku
yakin, dengan seiringnya waktu aku pasti bisa kerasan”, jawabku serius.
Teman
SMA ku juga tidak mendukung keputusanku:
“Apa
kamu tidak salah ingin melanjutkan kuliahmu disebuah pesantren? Bagaimana
dengan ilmu umummu yang sudah kamu peroleh?”, kata temanku (sebut saja namanya
Ningrum).
Dengan
pelan aku menjawab, “ Ini kemauanku, aku juga ingin memperdalam ilmu agamaku
untuk bekal di akhirat kelak. Bagiku ilmu Agama itu lebih penting dari pada
ilmu Umum. Karena aku sudah terlalu jauh tidak memahami ilmu agamaku sendiri.”
Temanku
menjawab perkataanku, “Tapi, kamu tahu sendiri bagaimana kehidupan di
pesantren? Tak bebas seperti diluaran. Nanti kamu akan terpenjara di dalamnya.”
“
Tak mengapa, karena aku sudah bosan hidup di luaran. Lebih baik aku terpenjara
didalam pesantren dari pada harus terpenjara didunia luar yang penuh akan
kemaksiatan yang merajalela”, kataku.
Temanku
yang satunya membantah (sebut saja namanya Lestari), “ Tapi kan tidak harus di
pesantren kamu memperdalam ilmu agamamu? Diluar kamu juga bisa memperdalam ilmu
agamamu”.
“
Ya, benar. Tapi tak semudah itu aku belajar ilmu agama di luar. Terlalu banyak
godaan buatku. Hidupku diluaran sudah seperti ini, maka dari itu aku ingin
lebih memperdalamnya disebuah pesantren biar lebih khusyuk. Karena lingkungan
adalah faktor utama buat perkembangan hidup kita”, jawabku santai.
Semuanya membuatku bingung. “Apa
yang salah dengan sebuah Pesantren? Apa aku tidak pantas untuk memperbaiki ilmu
Agamaku? Apa dosaku sudah tak bisa tuk di ampuni olehMu?”, terlintas pertanyaan
dalam benakku.
Aku
mencoba tuk mencari petunjuk dari Allah melalui Sholat Istikharoh, saran dari
salah satu guruku. Segera aku mengambil wudhu’ dan langsung menunaikan sholat
Istikharoh tersebut, bersujud dalam dzikir memohon untuk diberi petunjuk
mengenai semua pilihan ini. Dan itu aku lakukan rutin hingga suatu waktu aku
merasa telah mendapatkan jawaban dariNya. Perasaanku lebih nyaman saat
membicarakan Dunia Pesantren, tidak dengan kuliah di luaran pada umumnya.
Ditandai pula aku tidak lulus ujian masuk PTN waktu itu. Akhirnya hatiku lega
juga. Akhirnya aku akan segera meneruskannya disebuah pesantren. Betapa bahagianya
diriku.
Kini, impianku telah tercapai.
Melanjutkan Perguruan Tinggi disebuah pesantren membuat jiwa dan ragaku lebih
damai dan tentram. Meskipun kadang pernah terlintas pikiran iri kepada teman –
temanku yang hidup diluaran, bebas. Tapi ku mencoba untuk menepis semua pikiran
itu jauh – jauh. Karena aku sadar, hidup di dunia hanyalah sementara.
Kesenangan di dunia hanyalah sesaat. Akhiratlah hidup kita yang abadi untuk
selamanya – lamanya. Sekarang, aku akan belajar mengenai ilmu agama lebih jauh
lagi, supaya tak sia – sia aku belajar di pesantren. Aku tidak akan pernah
menyia – nyiakan kesempatan ini, karena kesempatan yang datang akan sia – sia
jika aku tidak melaksanakannya dengan baik. Terimakasih untuk semua jalan yang
telah Engkau gariskan untukku, aku akan berusaha untuk menjadi yang lebih baik
dari sebelumnya. Karena ini sudah menjadi pilihan hidupku... J
(imraatulmufidah@gmail.com)